Sabtu, 07 Februari 2009

TELINGA PANJANG KHAS SUKU DAYAK


MENYEBUT seni tato, banyak suku bangsa di Nusantara yang memiliki tradisi ini seperti suku Dayak, Mentawai, dan Papua. Namun, tradisi telinga panjang, hanya suku Dayak di Kalimantan yang memiliki tradisi unik dan khas ini. Itu pun tidak semua suku Dayak, tetapi hanya beberapa subsuku Dayak tertentu.

MESKI menjadi salah satu ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan, namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan. Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua Dayak yang berumur di atas 60 tahun.

Selain jumlahnya sangat sedikit, mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.

Menurut antropolog Mering Ngo, yang juga berasal dari suku Dayak, jika tato tradisional Dayak kini berkembang menjadi seni tato modern, tradisi telinga panjang justru semakin tenggelam dan ditinggalkan. Tidak ada generasi muda sekarang yang meneruskan tradisi ini, bahkan di pedalaman Kalimantan sekalipun, dengan beragam alasan.


"Cukup saya saja yang telinganya dibuat panjang. Ketujuh anak saya, satu pun tidak ada yang telinganya dibuat panjang," tutur Pejung (82), warga suku Dayak Kayan yang telinganya dibuat panjang hingga sekitar 15 sentimeter.

"Saya kasihan jika anak- anak saya nantinya malu dan menjadi bahan ejekan. Padahal, telinga panjang harus mulai dilakukan sejak masih bayi," tambah Pejung.

Menurut Mering Ngo, selain tidak ada penerus untuk melestarikan tradisi telinga panjang, juga tidak semua kelompok atau subsuku Dayak di Kalimantan memiliki tradisi telinga panjang ini. Di Kalimantan Barat, misalnya, tradisi telinga panjang hanya dikenal antara lain di kalangan masyarakat Dayak Iban, Kayan, Taman, dan Dayak Punan. Tradisi ini pun kebanyakan hanya berlaku di daerah pedalaman seperti di Kabupaten Kapuas Hulu.

PEMBUATAN telinga panjang tidak hanya dilakukan pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Pembuatan telinga panjang biasanya dilakukan sejak masih bayi. Adapun tujuannya, menurut Mering Ngo, dikaitkan dengan penggolongan strata sosial seseorang di dalam masyarakat.

Di Dayak Kayan, misalnya, pembuatan telinga panjang menunjukkan orang tersebut berasal dari kalangan bangsawan.

Adapun pembuatan telinga panjang pada perempuan menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Lain lagi dengan desa-desa di hulu Sungai Mahakam. Telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu.

"Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali," ungkap Jacobus Bayau Lung, Ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur.

Tujuan pembuatan telinga panjang pun bukan untuk menunjukkan status kebangsawanan, tetapi justru untuk melatih kesabaran. "Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga. Tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih," ujar Bayau Lung.

Sementara itu, di kalangan masyarakat Dayak Kayan, agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Sementara pada Dayak Iban, tidak diberi pemberat demikian, tetapi hanya dibiarkan terlihat seperti lubang besar seperti kalau kita membuat angka nol dengan menyatukan ujung ibu jari dengan ujung jari telunjuk.

Di Dusun Sungai Utik, Desa Apan, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, misalnya, ditemukan seorang Dayak Iban bernama Tuba.

Orang tua berumur sekitar 68 tahun tersebut memanjangkan telinganya sekitar tahun 60-an saat merantau ke Sarawak dan Brunei Darussalam. Di sana dirinya selain memanjangkan telinga juga membuat tato di bagian leher, lengan dan paha.

Guru Besar Hukum Adat Univeritas Tanjungpura Prof Dr Yohanes Cyprianus Thambun Anyang menyatakan, tradisi telinga panjang Dayak Iban hampir sama dengan Dayak Taman yang tidak memberi pemberat.

"Pada Dayak Taman, tradisi telinga panjang itu tidak terkait dengan strata sosial tertentu. Tradisi ini khususnya untuk perempuan hanya sebagai identitas keperempuanannya," papar pakar hukum adat ini.

Tetapi, kata Thambun, tradisi ini sudah ditinggalkan masyarakat Dayak Taman. "Ibu saya saja justru begitu datang ke Pontianak waktu itu meminta dipotong ujung daun telinganya karena khawatir nanti anak- anaknya malu," ungkapnya.

Menurut Thambun, memanjangkan telinga hanyalah salah satu tradisi menghias tubuh. Tradisi suku Dayak lainnya adalah membuat tato dan memasang gigi emas. Namun, dari ketiga tradisi menghias tubuh tersebut, hanya tato yang masih bertahan walaupun semakin kehilangan makna spiritualnya. Sedangkan membuat telinga panjang dan memasang gigi emas sudah ditinggalkan.

"Tradisi memasang gigi emas bagi Dayak Taman untuk menunjukkan yang bersangkutan sudah merantau jauh, sebab gigi emas yang bagus cuma ada di Sarawak dan Brunei Darussalam," tuturnya.

Mulai kapan tradisi telinga panjang ini ditinggalkan?

Menurut Mering, ini tidak diketahui persis, namun diperkirakan sama dengan tradisi tato ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.

Tradisi ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan. Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.

Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern.

Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.

dikutip dari:http://www2.kompas.com/

1 komentar:

Summerenata mengatakan...

kalau saya mau tahu lebih dalam tentang budaya telinga panjang ini untuk referensi tugas adakah buku yang membahasnya lebih dalam?

Posting Komentar